Di setiap sudut pasar, etalase toko oleh-oleh, hingga meja makan rumah tangga di Minangkabau, dua jenis kerupuk (karupuak) senantiasa hadir dan bersaing dalam merebut hati para penggemar kerenyahan: Karupuak Sanjai dan Karupuak Jangek.
Kedua kudapan ini bukan sekadar camilan; mereka adalah bagian integral dari identitas kuliner Minang. Namun, perdebatan abadi selalu muncul: manakah di antara keduanya yang lebih “oke,” lebih mewakili kehebatan rasa Minangkabau? Jawabannya terletak pada pemahaman mendalam tentang bahan, tekstur, dan peran masing-masing di atas meja.
Karupuak Sanjai
Karupuak Sanjai adalah keripik yang paling ikonik dan sering menjadi oleh-oleh wajib. Nama ini diambil dari nama daerah asalnya di Bukittinggi, Nagari Sanjai.
Kanvas Singkong dan Sentuhan Balado
Bahan dasarnya sangat sederhana, singkong yang diiris tipis melintang, digoreng kering hingga renyah. Keunggulan Karupuak Sanjai justru terletak pada variasi pelapisnya.
Ada Sanjai polos yang gurih asin, tetapi yang paling terkenal adalah Sanjai Balado. Lapisan cabai (balado) yang lengket, manis, pedas, dan sedikit asam menyelimuti keripik singkong yang renyah. Bumbu ini dimasak kental hingga mengkaramel, menciptakan kombinasi tekstur yang unik: renyah di dalam, lengket di luar.
Karupuak Sanjai adalah simbol dari karakter masakan Minang yang tegas dan berani. Ia menuntut perhatian penuh dari indra pengecap, memberikan ledakan rasa yang instan.
Karupuak Jangek
Di sisi lain gelanggang, berdiri Karupuak Jangek, yang memiliki karakter, tekstur, dan asal-usul yang sangat berbeda. Jangek berarti kulit. Kerupuk ini dibuat dari kulit sapi atau kerbau yang melalui proses panjang dan rumit.
Proses Panjang Menuju Kerenyahan
Kulit dibersihkan, direbus lama, dijemur hingga kering total, kemudian dipotong-potong dan digoreng dua kali. Penggorengan pertamanya menggunakan minyak biasa, dan yang kedua seringkali menggunakan minyak yang sangat panas hingga kerupuk mengembang besar dan ringan.
Teksturnya adalah antitesis dari Sanjai. Karupuak Jangek memiliki tekstur yang ringan, gembur, dan meleleh di mulut (lumuik). Ia tidak keras atau padat, melainkan lembut seperti kapas. Rasanya cenderung gurih asin dan didominasi oleh aroma khas kulit sapi yang telah diolah.
Karupuak Jangek adalah simbol kearifan Minang dalam memanfaatkan setiap bagian dari hewan. Ia adalah lauk pendamping yang sering disiram kuah, seperti kuah gulai, karena kemampuannya menyerap cairan dengan sempurna.
Keputusan Rasa: Mana yang Lebih “Oke”?
Memutuskan mana yang lebih “oke” adalah seperti membandingkan dua jenis musik yang sama-sama indah namun memiliki genre berbeda.
Karupuak Sanjai: Oke untuk Tantangan Rasa
Jika yang Anda cari adalah sensasi rasa yang kuat, kontras, dan adiktif, maka Karupuak Sanjai adalah pemenangnya. Ia cocok sebagai camilan mandiri yang memberikan energi dan kejutan rasa pedas manis. Sanjai adalah pilihan yang “oke” bagi jiwa yang berani dan menyukai tekstur padat.
Karupuak Jangek: Oke untuk Kelembutan dan Adaptasi
Sebaliknya, jika definisi “oke” adalah kelembutan, kenyamanan, dan kemampuan beradaptasi, maka Karupuak Jangek unggul. Ia adalah pelengkap sempurna untuk hidangan berkuah. Dicelupkan ke dalam kuah soto, gulai, atau kuah santan lainnya, Jangek akan meleleh dan menyatu dengan kuah, memberikan rasa gurih yang khas. Jangek adalah pilihan yang “oke” bagi mereka yang menghargai kehalusan dan kelezatan fungsional.
Pada akhirnya, keunggulan salah satunya bergantung pada situasi. Saat lapar dan butuh boost rasa, ambil Sanjai Balado. Saat bersantap dengan hidangan berkuah, Jangek adalah pasangannya yang tak tergantikan.
Kedua kerupuk ini mengajarkan satu hal: kekayaan kuliner Minangkabau terletak pada variasi dan kontras. Keduanya adalah juara, yang satu juara di arena balado yang pedas, yang satu juara di arena kuah yang gurih.



